Oleh : Anang Abdul
Dalam beberapa waktu terakhir, umat Islam di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dikejutkan oleh sebuah keputusan kontroversial berupa Surat Keputusan Pergantian Antar Waktu (PAW) yang secara sepihak melengserkan lebih dari 70 orang pengurus sah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Mereka adalah orang-orang yang sebelumnya ditetapkan secara sah melalui mekanisme organisasi yang sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MUI, serta telah mengabdi dalam pelayanan umat dan agama.
Ironisnya, SK PAW tersebut justru terbit tanpa musyawarah resmi Dewan Pimpinan MUI Hulu Sungai Selatan, yang semestinya menjadi forum legal untuk pengambilan keputusan penting. Bahkan lebih tragis lagi, dalam SK itu dicantumkan surat Ketua Umum MUI Kabupaten Hulu Sungai Selatan bernomor 01/MUI-HSS/5/2025, yang ternyata tidak pernah dikeluarkan oleh beliau. Jika ini benar, maka ada dugaan kuat terjadinya pemalsuan dokumen resmi organisasi, sebuah tindakan yang bukan hanya melanggar etika dan hukum organisasi, tapi juga masuk ranah kejahatan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 263 tentang pemalsuan surat.
Dari sisi hukum pidana, pemalsuan dokumen organisasi resmi adalah tindak pidana. Dalam KUHP, hal ini dapat diancam dengan pidana penjara hingga 6 tahun. Jika SK PAW tersebut dijadikan dasar tindakan administratif atau digunakan untuk menggulingkan pihak lain, maka efek hukumnya meluas sebagai bentuk penipuan struktural.
Dari sisi hukum perdata: SK PAW yang cacat prosedur dan melanggar AD/ART dapat digugat ke pengadilan negeri melalui jalur perdata sebagai bentuk perbuatan melawan hukum (PMH), serta menimbulkan kerugian moril dan materiil terhadap pengurus yang dilengserkan tanpa proses hukum organisasi.
Dari sisi etika organisasi, penerbitan SK PAW tanpa rapat Dewan Pimpinan, hanya berdasarkan rekomendasi tokoh di luar kepengurusan, adalah pelanggaran fatal terhadap nilai-nilai musyawarah, yang menjadi ruh utama organisasi Islam.
Menyudutkan dan mencemarkan nama baik pengurus-pengurus sah dengan narasi “tidak aktif” atau “berhalangan tetap” tanpa bukti adalah fitnah yang tidak bisa dibiarkan.
Mari kita mengingat sabda Nabi Muhammad saw
“Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari golonganku.”
(HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Sebagai bagian dari umat, kita tidak boleh diam. Ketika lembaga terhormat seperti MUI disusupi kepentingan tertentu, dan musyawarah ditukar dengan manuver tersembunyi, maka kita sedang menyaksikan keruntuhan moralitas dari dalam.
Bagi siapa pun yang merasa memiliki kekuasaan dalam organisasi, hendaknya ingat bahwa amanah itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan hanya di depan umat. Sekecil apa pun kesalahan, jika dibiarkan, akan menjadi awal dari kerusakan besar. Menyingkirkan pengurus tanpa proses yang benar bukan hanya tindakan zalim, tapi juga menghancurkan wibawa MUI di hadapan umat Islam.
Jika ada pengurus yang salah, maka proseslah sesuai prosedur dalam AD/ART. Lakukan teguran, klarifikasi, dan bila perlu evaluasi terbuka. Tapi bukan dengan cara main pecat, apalagi dengan dokumen palsu dan narasi fitnah.
Tujuan yang baik tidak pernah menghalalkan cara-cara yang melanggar syariat maupun aturan organisasi. Keadilan dan kebenaran adalah dua sayap yang harus selalu seimbang.
Peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua lembaga keumatan. Jangan sampai karena ambisi pribadi atau tekanan eksternal, lembaga suci seperti MUI justru kehilangan kepercayaan umat. Kita butuh ulama yang berani menegakkan kebenaran, bukan yang diam demi kenyamanan pribadi.
Mari kita bersatu menyuarakan kebenaran. Siapa pun pelakunya, harus diusut dan diberi sanksi tegas, baik oleh organisasi, hukum negara, maupun opini publik umat Islam. Sebab jika kita membiarkan kezhaliman tumbuh dalam tubuh lembaga ulama, maka kita sedang menyiapkan kehancuran moral generasi berikutnya.
Semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran dan menjauhkan kita dari fitnah kekuasaan dan kedudukan. Amin.