MARABAHAN – Di Desa Belandean, setiap lubang di jalan menyimpan cerita. Cerita tentang anak-anak yang harus berjalan hati-hati ke sekolah.
Tentang petani yang terjebak lumpur saat membawa hasil panen. Tentang warga yang, saban hari, harus memilih antara risiko dan kebutuhan.
Tapi Minggu pagi (13/4/2025) itu terasa berbeda.
Langit masih berawan ketika Bupati Barito Kuala, H. Bahrul Ilmi, datang. Bersama Kepala Dinas PUPR, H. Saberi Thanoor, mereka menjejakkan kaki langsung di jalur yang selama ini lebih sering dilewati dengan ragu daripada yakin.
Bukan sekadar kunjungan formal. Bupati menyusuri jalan itu seperti warga biasa, melihat dari dekat luka yang sudah lama dibiarkan terbuka.
“Ini bukan hanya soal jalan. Ini soal mendengar dan menjawab harapan masyarakat. Insya Allah, pembangunan segera dimulai, agar aktivitas warga kembali lancar, dan desa bisa bergerak maju,” ujarnya, di tengah medan yang masih becek dan berkerikil.
Jalan Belandean memang sudah terlalu lama menanti. Tahun lalu, Pemkab Batola sudah membangun 1,5 kilometer dengan anggaran Rp3,5 miliar.
Tapi masih ada 1,7 kilometer yang tersisa—seolah jadi simbol tentang janji yang belum genap.
Kadis PUPR, H. Saberi Thanoor, mengakui pembangunan belum tuntas, tapi komitmen tidak pernah pudar.
“Kami tidak menutup mata. Dengan anggaran yang ada, sisa jalan ini akan kami tuntaskan. Target kami, tahun 2026 semuanya rampung,” tegasnya.
Belandean bukan satu-satunya. Di berbagai sudut Batola—Jejangkit, Kuripan, Tabukan, hingga Tabunganen—warga juga menanti langkah serupa. Dan pemerintah berjanji, tidak akan ada yang dilupakan.
Di mata warga, jalan bukan cuma infrastruktur. Ia adalah urat nadi kehidupan.
Ia adalah jembatan antara asa dan kenyataan.
Dan hari itu, mereka menyaksikan sendiri bahwa harapan mereka akhirnya didengar.
Satu per satu langkah di jalan itu mungkin kecil. Tapi bagi Belandean, itu adalah langkah besar menuju perubahan.