Pijarkalimantan.com, KOTABARU,- Sidang gugatan perdata yang diajukan oleh Anton Timur Ananda dan Abdul Muthalib terhadap perusahaan tambang batubara PT Sebuku Tanjung Coal (STC) memasuki babak baru. Pada Senin (6/5/2025), Pengadilan Negeri Kotabaru menggelar sidang kedua dengan agenda mediasi pertama, yang dihadiri oleh para tergugat dan turut tergugat.
Pihak yang digugat dalam perkara ini meliputi PT STC sebagai Tergugat I, Belly Djaliel (Dirut PT STC) sebagai Tergugat II, PT Hilcon Jaya Sakti (Tergugat III), PT Silo Group (Tergugat IV), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotabaru (Tergugat V), serta Bupati Kotabaru sebagai turut tergugat.
Majelis hakim memutuskan melanjutkan ke tahap mediasi karena para tergugat hadir, sebagian didampingi oleh kuasa hukum masing-masing.
Gugatan ini dilayangkan atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) berupa penggusuran dan eksploitasi tambang batubara di atas lahan yang telah bersertifikat Hak Milik (SHM), yang kemudian ditumpangi dengan terbitnya Sertifikat Hak Pakai (SHP). Menurut para penggugat, aktivitas penambangan dilakukan tanpa ganti rugi maupun pembebasan lahan secara sah.
Anton Timur menggugat ganti rugi sebesar Rp88 miliar, sedangkan Abdul Muthalib menuntut Rp87 miliar. Total nilai gugatan mencapai Rp173 miliar, yang mencakup kerugian materil dan immateril akibat perusakan lahan milik mereka.
“Tanah ini tempat saya bertani dan beternak untuk menghidupi keluarga. Saya berharap ada titik terang dan keadilan,” ucap Anton yang hadir bersama Abdul Muthalib usai sidang.
Kuasa hukum penggugat dari Tim Badrul Ain Sanusi Al-Afif & Rekan menyatakan bahwa gugatan ini merupakan puncak dari perjuangan panjang yang telah berlangsung sejak 2021.
“Tanah klien kami sudah bersertifikat SHM sejak 2015 melalui program Prona. Tapi justru ditambang dan dirusak setelah muncul SHP di atasnya. Penambangan dilakukan tanpa izin maupun pembebasan dari pemilik yang sah,” ujar Wahid Hasyim, S.H.
Ia menambahkan, pihaknya akan tetap bertahan pada gugatan karena tidak ada tawaran penyelesaian yang menguntungkan dalam mediasi pertama. “Jika ini terus merugikan klien kami, kami siap membawa perkara ini hingga ke tingkat nasional. SHP atas nama Belly Djaliel harus dibatalkan oleh Kementerian Agraria demi keadilan,” tegasnya.
Rekan kuasa hukum lainnya, Djupri Efendi, S.H., menjelaskan bahwa lahan milik Anton dan Abdul masing-masing seluas hampir satu hektare dan selama ini digunakan secara aktif untuk bertani dan beternak. Namun, pada 2021, BPN Kotabaru menerbitkan SHP atas lahan tersebut, yang kemudian digunakan PT STC sebagai dasar melakukan aktivitas penambangan.
“Saya sudah memperingatkan PT STC agar menghentikan kegiatan pertambangan di tanah saya, tapi tidak diindahkan,” ujar Anton menegaskan.
Sidang lanjutan dijadwalkan pada 15 Mei 2025 untuk melanjutkan proses mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan, perkara akan dilanjutkan ke pokok gugatan.
Dalam ruang sidang juga tampak hadir kuasa hukum PT STC dan Silo Group, yakni Asikin Ngile, S.H., dan La Ode Rahman, S.H.